Suryo Sang Surya
“Weh potong rambut lu bang” “Dasi mulu yang lu benerin, jalan depan rumah gua kapan?” “Beh, ada janda baru di RT lima” “Kaset dangdut lu yang kemaren gua pinjem lagi yak”
Suara khasnya langsung memenuhi Warteg milik Emak, Warteg Barokah samping gapura. Sudah biasa aku mendengar celotehnya, tengok sana tengok sini, semua orang dia kenal. Suryo, karyawan di PT sebelah. Kemeja merah dan dasi hitam yang dipakainya sejak melamar pekerjaan, sekarang terlihat memudar. Oh, sudah 3 tahun rupanya Suryo menjadi pelanggan, 3 tahun pula dasi itu dipertahankan. Setelah membungkus pesanan sebelumnya, langsung ku siapkan nasi dan telur balado untuknya, tidak lupa di tepi piring ku tambahkan teri dan sedikit sambal.
“Halo Joni, kaya biasa ya”
Suryo.. Suryo, genit sekali gaya bicaranya. Tak tahan lagi, langsung saja kusodorkan piring hijau motif bunga yang tadi ku siapkan. Benarkan tebakanku, tidak ada menu lain yang akan dia pesan. Tapi aku tidak mau berkomentar, mau dia bisul di sekujur badan pun tetap aku biarkan. Katanya, saat kecil dia tidak pernah bisa makan telur balado semaunya. harus menunggu kenaikan kelas, baru ibunya buatkan, itu pun dibagi-bagi dengan kedua adik laki-lakinya alias bukan satu buah telur utuh untuknya seorang.
Lalu dia duduk di pojok ruangan. Dekat TV kecil yang menjadi tontonan. Lahap sekali dia makan. Sengaja tadi kutambahkan porsi tambahan. Sesekali dia menyapa orang yang baru datang. Heran, bagaimana bisa dia mengingat semua orang? Aku yang notabenenya melayani pelanggan, tidak banyak yang aku kenal. Dalam sela-sela makannya, Suryo banyak berbincang dan saling melempar lelucon dengan tukang parkir di pintu depan.
Aku iri melihatnya, bagaimana suara tawa itu tetap renyah terdengar, meskipun gaji 3 jutanya selalu habis bukan untuk dirinya. Suryo penopang hidup keluarga. Ayahnya tidak ada, Ibunya sudah tua, Adik pertamanya belum bekerja, Adik keduanya masih SMA, berat sudah pundak kanan-kirinya. Mana sempat memikirkan pernikahan, padahal usianya genap 28 bulan depan. Lihat aku. Sebatas membantu Emak di Warteg setiap siang sebelum berangkat kuliah, dengan uang jajan yang selalu ada di saku celana, tapi banyak sekali keluh kesah tak berguna.
“Lu demen sama gua jon? anteng bener kayanya ngeliatin gua. Tapi sori nih, gua masih normal ya, Mpok Jamilah masih jadi idaman”
Sial, Suryo tiba-tiba berbalik, memergokiku yang sedang menatap punggungnya. Sudah pasti dia berbicara yang tidak-tidak. Aku hanya bertanya-tanya, bagaimana dia menjalani kehidupan? bagaimana bisa dia tidak menyalahkan tuhan? bagaimana langkahnya tetap terlihat tegap dan menawan? bagaimana matanya tidak pernah terlihat sembap menangisi takdir menyedihkan?
Rupanya Suryo sudah selesai makan. Pantas saja, waktu sudah mendekati pukul satu siang. Segera dia mengeluarkan 2 lembar lima ribuan.
“Gak usah bang, hari ini kucing si Emak lahiran jadinya ngadain syukuran”
Girang sekali wajahnya. Sepuluh ribu miliknya mungkin bisa digunakan untuk keperluan lain. Kemudian dia bergegas menuju kantor tempatnya bekerja dengan tidak lupa berterima kasih kepada Emak. Tangan Emak yang sedang menyendok tempe orek kemudian terhenti, merasa bingung, sejak kapan ia punya kucing? lahiran pula Suryo bilang kepadanya. Ya itu akal-akalan ku saja, biar nanti uang jajanku yang membayarnya.