Rombongan Haji

Selma R. Azizah
3 min readMar 18, 2023

--

Nais dan Bilqis

Kalau saja gebetan dua orang ini bukan kakak kelasku, rasanya mustahil untuk kami berjibaku. Pasalnya, aku ini dulu macam sumber informasi demi menggait pujaan hati. Nais dan Bilqis sialan, aku hanya dimanfaatkan. Ah tapi tidak apa juga, gara-gara itu aku jadi punya kawan. Personaku yang apa-apa bisa sendiri, kemana-mana sendiri, dan melakukan apa pun serba sendiri, ternyata malah dikasihani oleh mereka ini, padahal aku merasa keren dan itu bukan suatu masalah berarti. Ya sudah, karena itu juga, sampai sekarang aku dan mereka malah jadi rombongan haji.

Rombongan haji sebenarnya hanya nama grup WhatsApp kami. Tidak tahu, dulu aku hanya berpikir asal untuk menamai. Ya semoga saja bisa jadi penghantar kami untuk betulan pergi haji. Nisa Fakhira Atqiya dan Bilqis Hildaziya Mumtaz, dua orang yang senantiasa membersamai sejak SMA. Dulu aku berpikir kalau mempunyai seseorang yang benar-benar dekat itu tidak guna. Pikiran dinamisku ini malah berubah saat bertemu mereka. Ternyata persepsiku yang tidak guna. Sekarang aku yang sering merengek kepada tuhan agar bisa terus bersua.

Terpaut jarak 500 km kami saat ini (kurang lebihnya maklumi saja). Aku di Daerah Istimewa dan mereka di Paris van Java. Kenapa sih selalu aku yang paling jauh jaraknya, sedangkan mereka bisa sering duduk bersama. Ingin murka tapi tidak kuasa, toh ini memang qadha dan qadar-Nya. Aku menjadi mahasiswa, mereka pun mahasiswa. Syukurku lagi, Meskipun komunikasi kami jarang, tidak setiap hari bertukar kabar, dan jarak yang sulit dijangkau, aku tetap menjadi bagian hidup mereka. Grup WhatsApp itu kian hari bertransformasi menjadi tempat pulang dan berkeluh kesah. Nais dengan segala tugas Administrasi niaganya, Bilqis dengan segala tugas matematikanya yang bahkan sudah tidak berangka, dan aku dengan segala tugas kuliah yang mungkin jika dibanding mereka tidak seberapa.

Mereka ini tidak manis. Sok cuek sekali tingkah lakunya. Belaga tidak peduli kepada sesama. Munafik. Bohong. Bukan begitu cara mereka. Mungkin dua cerita ini akan sedikit menjelaskan. Pertama, ketika aku menghadapi kegagalan. Tidak ada kalimat panjang yang mereka ucapkan untuk setidaknya bisa menenangkan. Sebagai gantinya, mereka tiba-tiba muncul di depan pintu rumah. Aku yang sedang berbaring mencoba mengikhlaskan spontan [uhuy] terperanjat melihat keduanya. Saat duduk di ruang tamu pun tiada pembahasan atau pertanyaan atas apa yang aku rasakan. Mereka hanya terus bergurau dan mengajakku haha hihi tak karuan. Barulah saat akan pulang mereka berkata, kalau mereka akan selalu ada.

Kedua, saat aku berulang tahun di perantauan. Boro-boro mendapatkan kejutan di tengah malam, bahkan sampai matahari terbenam pun belum ada ucapan. Pukul 19.53 satu pesan baru muncul di permukaan. Jangan berharap kalau ini pesan romantis penuh dengan emoji hati atau bunga.

Sudah begitu saja. Oh, sebenarnya Nais membuat video panggilan denganku, tapi dia hanya menangis sembari sesenggukan berkata “Maneh kasian banget, ultah tapi aing-nya jauh jadi gak bisa ke sana”. Lagi-lagi aku dikasihani. Tapi ini sangat tidak masalah, aku malah berbahagia. Tiga hari berikutnya, aku mendapat kiriman. Mereka benar-benar memberiku hadiah. Bukan itu saja ternyata, di hari yang sama, Bilqis bertanya alamat kosku apa di aplikasi ojek online. Curiga. Apalagi yang akan mereka lakukan. Sebuah kue bertuliskan “Happy Birthday Selma” mendarat dengan sedikit drama. Abang ojolnya salah alamat. Terharu sekali aku saat itu. Rasanya ingin segara naik kereta dengan 8 jam waktu perjalanan agar bisa menemui mereka. Sayang sekali, Pikiran itu hanya berhenti sebagai angan. Lalu aku mengucapkan terima kasih semanis yang aku bisa dan dengan menambahkan segala stiker heboh yang aku punya. Tahu apa respon mereka? biar aku tunjukkan.

Sekali lagi. Ini sudah biasa. Seperti pada tulisanku sebelumnya, pengungkapan kasih sayang memang berbeda-beda. Kalau ternyata aku saja yang kepedean, biarlah aku terus merasa begitu, aku tetap menyayangi keduanya.

--

--

No responses yet