Pramudhatri
Di malam yang masih dini ini, pandanganku berwarna abu-abu, padahal tadi siang masih kuning kecoklatan. Teman-teman di perkuliahan terlalu banyak jenisnya. Setelah seharian bertemu teman yang seperti malaikat, di penghujung hari aku malah bertemu teman macam setan yang tidak diikat. Gara-gara satu kalimat itu, penutup hariku menjadi buruk. Keparat memang. Aku tidak peduli, lelucon atau bukan. Aku tidak peduli, bermaksud atau tidak. Ada opsi lain untuk tidak berbuat demikian. Seharusnya aku bisa lebih paham, tetapi kali ini aku memilih tidak. Memangnya kenapa? Aku juga berhak merasa kesal. Jadi, ya terserahku saja. Biarlah daun di jalanan menjadi saksi wajah durjaku.
Sampailah aku di persimpangan fakultasnya. Setelah berkutat dengan segala praktikum itu, aku sangat ingin melihat senyum indahnya. Dari ujung jalan ini, aku melihatnya berjalan. Daun yang menghalanginya di trotoar garis hijau, ia tendang-tendang. Dia terlihat berbeda. Kusut sekali mukanya. Kehadiranku pun tidak disadarinya. Aku sedikit kecewa. Kulihat mata besarnya yang mulai mengecil. Kulihat cekungan bibirnya yang menjadi cembung. Kulihat rona pipinya yang mulai pucat. Kulihat raut manisnya yang menjadi masam. Kenapa? Ah sepertinya dia hanya kelelahan. Tunggu. Mustahil. Tidak mungkin dia hanya kelelahan. Pendek sekali pikiranku, maaf ya, padahal aku tahu betul tindak tuturmu, duhai Dhatri pujaanku.
“Dhatri! Malam ini kamu luang? ada yang ingin aku ceritakan.”
Bohong. Aku berbohong. Tidak ada yang ingin aku ceritakan. Aku hanya ingin mendengarnya bercerita. Apa pun itu, Dhatri. Aku berharap hari ini akan beruntung. Bisa mendengar alasan kenapa senyuman kesukaanku itu menjadi hilang. Sepersekian detik kemudian, dia menjawab dengan lantang.
“Aman! kabari atau langsung telepon saja ya.”
Kaget. Ramu tiba-tiba berlari menghampiriku. Entah dari mana datangnya manusia itu. Aku terlalu tidak peduli dengan sekitar. Maklum, aku sedang dikuasai perasaan kesal. Tangannya bergelantungan di pundakku. Alisnya naik-turun. Senyumnya sangat lebar sampai gusinya ingin keluar. Duh, membuatku tidak tega saja. Makanya ku jawab begitu, aman.
Bohong. Aku berbohong. Aku tidak aman. Tetapi ini Pramudya, Ramu panggilan buatanku. Aku bahkan tidak berkonflik dengan diriku barang sedetik pun. Aku tidak sempat untuk berpikir ulang. Biarlah duka kusimpan dahulu. Sekali lagi, ini Ramu.
Munafik sekali kamu Dhatri. Aman dari mana aku bisa melihatnya. Aku juga tidak ingin mengajakmu bertelepon. Aku ingin membersamaimu. Pikirmu aku lupa? Kesendirian yang kamu anggap teman, sebenarnya sangat tidak nyaman, bukan?
Ingin sekali aku menjadi berani untuk mengeluarkan itu, tetapi aku tidak sanggup. Aku putuskan untuk menggenggam lengannya sembari berkata,
“Bukan via telepon maksudku. Ayo, aku tahu tempat bagus untukmu.”
Sanubariku sedikit kembali tenang. Pijar indah dari bola matanya bisa kembali ku lihat lagi, meskipun jauh dari seperti biasanya. Tidak masalah, Dhatri tetap menjadi kesayanganku.
Ajaib, sungguh ajaib. Duka yang baru bergejolak melebur begitu saja. Sentuhannya seperti penawar. Meskipun tidak begitu luwes, aku merasa rautku mulai berubah. Mataku kembali melebar. Bibirku kembali cekung. Pipiku kembali memerah. Dia tiba-tiba mengajakku ke tempat yang aku tidak tahu tepatnya, katanya sih cocok dengan ku. Aku tidak khawatir ke mana Ramu akan membawaku. Bersamanya aku selalu merasa aman. Dia seperti tahu kalau aku sedang tidak ingin sendiri. Dia, dia seperti sudah tahu kedurjaanku, padahal ini pertemuan pertama kami di hari ini. Aku curiga, Ramu tahu aku berbohong? Tidak kan? Ah sudahlah, peduli apa. Toh kalaupun aku ketahuan, tidak masalah, Ramu tetap akan menjadi Ramu.