Merah Marah Menyala
Kalau seluruh emosi terakumulasi, lenyaplah sudah senang sedih duka lara. Api yang tidak sempat menyala terpaksa padam dalam liarnya gejolak pemaksaan. Asap yang ingin mengudara kembali masuk pada lubang-lubang ventilasi yang tidak jelas tujuannya kemana. Abu bekas pembakaran yang sekiranya hadir sebagai bukti pelepasan hilang tanpa ada keluangan. Merah marah tidak sempat menyala.
Hadir kembali suatu hari saat ingin cepat menyala karena marah semakin memerah. Tungku yang tidak semampai tingginya hendak bersiap menyulut agar merah marah segera menyala. Namun, marah lama-lama memudar merahnya bersamaan dengan redupnya yang menyala. Hingga mengejar kembali apa yang menyala sebab menyesal tidak membiarkan marah tetap merah. Apadaya kaki gontai dan silir-semilir api yang membara. Merah marah sekali lagi tidak sempat menyala.
Tekad membulat untuk menjadikan kemungkinan perbaikan jika datang suatu masa. Niatnya lalu beralih menjadi kebohongan belaka. Tidak ada merah yang menyala, tidak ada marah yang menyala, tidak ada merah marah yang menyala. Semuanya kembali hilang sesaat dalam terlelapnya mata. Maaf aku salah memilih kata, karena sejatinya tidak ada yang benar hilang dari permukaan, sekadar lari menuju oasis di gurun pasir lalu minum dan kembali lari mencari oasis lain di gurun pasir lalu minum dan kembali mencari oasis lain di gurun pasir lalu lalu lalu lalu sadar hanya berlari dalam siklus sialan. Merah marah lagi-lagi tidak sempat menyala.
Dipikirnya mudah merenovasi sukma yang sudah tidak jelas bagaimana fasadnya. Perkataan orang lama yang kesahihannya datang dengan tidak disengaja. Adat kakurung ku iga. Tega sekali kau melabelinya sebagai tabiat yang patut musnah. Memangnya ada lagi yang lebih tepat? Bersyukurlah jika benar tidak terulang, dengan sepenuh hati aku bilang ini bermanfaat. Berharap nyalanya bukan sebatas utopia agar tiada lagi yang berduka secara tiba-tiba. Merah marah kumohon menyala.