Menjadi Konservatif, Apakah Salah?
Sampai detik aku menulis ini, aku belum tahu mau berbicara perihal apa. Banyak bulatan-bulatan kecil menghalangi pandangan. Huruf dan kata sebagian hilang. Anehnya tangan ini terus berjalan, meski belum yakin sampai atau malah ditinggalkan. Mereka semakin mengganggu. Mata sudah ku kedipkan berulang-ulang. Gawai ini sudah kuangkat mengawang-ngawang. Samar, pandanganku semakin buram. Padahal baru tadi, saat makan bersama teman, aku bilang mataku normal.
Anehnya, aku tidak mengajukan keluhan. Semacam sudah yakin bahwa ini akan menghilang. Begitu juga kehidupan. Teringat saat hari-hari terasa mengambang tidak ada kepastian, tetapi keyakinan tidak hilang. Bapak bilang,
“Tukang kursi pasti tahu seberapa kuat kursi yang ia buat, apa yang ditempatkan pasti akan disesuaikan, pun dengan tuhan”
Sejenak berpikir, keyakinan ini mengikis (hampir) habis ambisi. Tidak lagi terbayang apa yang ingin dikejar. Sebatas hidup dengan nyaman meski harus tetap berjalan. Bagian kecil yang tidak hilang ternyata tentang aku dan kebahagiaan. Jalan-jalan sore di taman, makan bakso samping jalan, menikmati pagi dalam lamunan, dan bersenandung ria dengan yang tersayang.
Lalu muncul sebuah pertanyaan. Apa ini suatu hal yang wajar? atau ini pembelaanku atas pemikiran kurang ajar? Apalagi jika melihat teman-teman, mimpiku tiada lagi yang bisa dipamerkan. Omong kosong pun akan kewalahan. Kalau aku jawab, “Aku tidak tahu tentang dunia, aku hanya hidup di depan mata”, apakah aku tetap seorang mahasiswa?
Aku ingin menjadi biasa saja. Banal. Selayaknya manusia dengan kodrat dari tuhan. Tidak dikenal alam raya pun tidak apa. Terkecuali kamu yang akan menua bersama. Melakukan apa pun aku rela. Perihal masa depan, besok juga demikian. Kenikmatan waktu yang tak berbayar, namun membuat diri merasa terkejar. Kemudian lupa apa yang disekitar karena sudah lama hilang kabar. Kemudian pongah menjalani kehidupan. Kemudian mati tanpa ada persiapan.