Menanam Mangrove di Kebun Kita
Sesuai janjiku dalam cerita si pemburu penyu yang taubat, Pak Rujito, akan aku ceritakan pengalaman menanam mangrove pertamaku kemarin.
12 Februari 2023, sehari sebelum menjadi mahasiswa semester dua, aku pergi ke Pantai Samas untuk menanam mangrove. Tentu saja tidak sendiri, bersama komunitas relawanku, Earth Hour, dan teman-teman lain yang baru aku temui. Berbicara tentang Samas, ini pun kalau kamu ingat, komunitasku sudah pasti berkolaborasi dengan Reispirasi, NGO di sana. Ini juga akan mempertemukanku dengan Pak Rujito.
Pagi Buta aku sudah berangkat, khawatir datang terlambat. Anak rantau yang tidak punya kendaraan ini pergi dengan seorang teman dari seper-relawan-an, panggilannya Dora (jangan harap rambutnya bondol, Dora yang ini violist konyol). Sampailah di sana setelah sekitar satu jam aku di motornya. Duh, pegal sudah bokongku ini. Pantai membentang baru kuintip dari kejauhan. Saran Mas Felix untuk membawa topi benar-benar menyelamatkanku dari teriknya matahari. Kalau kamu tanya siapa itu Mas Felix, beliau koordinator Earth Hour Indonesia yang memang asli Jogja, makanya tinggal di sini.
Menjadi narahubung membuatku sulit berpisah dengan ponsel. Peserta kegiatan butuh segera respon dariku, dari pertanyaan seputar lokasi atau sekadar konfirmasi kedatangan. 70 orang yang datang lalu duduk melingkar di bawah pohon rindang. Mas Deny dari Reispirasi mulai mengedukasi apa yang akan dilakukan, termasuk urgensi dan lokasi penanaman. Sekitar pukul 9.30, kami berangkat ke muara. Cukup jauh ternyata. Pasir panas beradu jitu dengan sendal karetku. Masing-masing sudah memegang mangrove. ada yang satu, ada yang sepuluh. Cangkul, bambu, dan rafia pun dipersiapkan.
Sudah bukan jalan pasir lagi, saatnya masuk ke dalam air. Kakiku mulai terendam hingga lutut. Kami menyebar ke sepanjang muara. 300+ bibit mangrove kemudian ditanam. Butuh waktu cukup lama ternyata, sampai matahari tepat di atas kepala. Semuanya sudah berkeringat. Ujung celananya menjadi basah. Lengannya penuh tanah. Wajahnya mulai memerah. Maka kembalilah duduk melingkar di bawah pohon rindang.
Galon penuh itu sudah semakin berkurang isinya. Tidak ada botol plastik yang kami sediakan. Minum dengan tumbler pribadi sudah kami beritahukan sejak awal. Lalu aku membagikan camilan. Tentu saja bukan kemasan. Pisang rebus dan singkong rebus dalam nampan. Aku kira mereka tidak suka, ternyata habis tidak tersisa.
Sebagai penutup, Mas Felix meminta kami berpendapat. sederhana saja, bukan pertanyaan yang harus google jawab. Bagaimana hari ini? Termasuk aku, banyak yang bilang kalau hatinya merasa bahagia. Banyak mendapat pelajaran juga popular sebagai jawaban. Sisanya ya beragam. Sekitar pukul 14.00 kemudian aku pulang. Masih bersama Dora yang menyediakan tumpangan. Panasnya siang tadi ternyata membawa hujan. Sepanjang di motor, aku hanya bersembunyi tak kuasa melihat jalan. Air yang turun terlalu menusuk badan.
Lalu kapan aku bertemu Pak Rujito? Entahlah, tidak tahu tepatnya jam berapa. Bahkan, aku sempat tidak tahu kalau warga yang membantu mengangkut mangrove adalah beliau. Tidak ada yang menyuarakan. Setidaknya aku sudah tahu, bagaimana wajah dan perawakannya. Aku tidak mau kejadian yang lalu kembali terulang. Kalau kamu ingin tahu kejadian apa yang aku maksud, sila berkunjung ke tulisanku di tanggal tiga.