Melihat Tiga Punggung dari Belakang

Selma R. Azizah
2 min readMar 20, 2023

--

Aku menyebutnya sebagai momentum pelepasan energi negatif. Berjalan kaki sejauh dan semampuku, sekadar bentuk relaksasi sebelum akhirnya berkontemplasi. Sabtu, 18 Maret kemarin, aku melakukannya dengan sedikit berbeda. Tidak hanya seorang diri, tetapi bersama tiga orang gila (baca: Bernat, Dyah, dan Liya) yang sama-sama ingin mengkatarsiskan emosi.

Sore selepas berkegiatan di kampus sebenarnya cukup menguras energi. Namun, kami berempat tetap bersiteguh untuk keluar dan melarikan diri (Liya menyebutnya sebagai ‘short escape’). Sebelum berjalan kaki, kami mampir untuk beli es krim. Bajuku basah kuyup, hujan di luar mengguyurku. Pendingin ruangan juga semakin membuat badanku ingin diselimuti. Belum puas kami haha hihi sambil makan es krim, berangkatlah kami untuk berjalan kaki.

Perjalanan lebih kurang 1 km terasa sangat lama. Biasanya dalam waktu <15 menit saja aku bisa segera sampai. Memang kalau bersama teman apa saja bisa dibicarakan, bahkan sembari berjalan. Dengan kamera digital yang aku genggam, punggung ketiga orang ini benar-benar membuatku tertegun. Ku potret setiap jengkal tingkah laku mereka. Macam Mama muda mengantar anaknya pergi karyawisata. Sekadar tembok bergambar logo partai politik pun menjadi sudut berpose mereka (sejujurnya aku yang menyuruhnya). Aku juga tidak lupa mendokumentasikan kebodohan kami yang menganggap tempat hiburan malam sebagai supermarket yang banyak dikunjungi orang.

Melihat mereka berlarian, saling mengejek dan tertawa, menunjuk-nunjuk keanehan sepanjang jalan adalah bentuk katarsisku yang berbeda. Ternyata, ini sangat menyenangkan. Melihat tiga punggung mereka dari belakang, orang-orang yang membersamai saat menghadapai kejenuhan, merupakan cara sederhana menyadari anugerah tuhan.

Kalau kalian ingin membaca cerita kami secara lengkap, kunjungi saja medium milik bernadetha adelia, Dyah Mukti Kusumaningrum, atau ike meliyasari. Mereka juga menceritakannya di sana.

--

--

No responses yet