Kafarat bukan Keparat
Otak goblok ku ini semakin tidak bisa diajak berdiskusi. Badanku terasa ditarik sampai ke inti bumi. Ku sumpal lubang hidung kiri dengan gulungan tisu tipis-tipis. Perih sekali mataku hari ini. Ternyata memang sayu saat ku tengok di cermin lemari. Dahiku terus mengernyit sedari tadi. Pipi besarku memerah, macam orang salah tingkah. Entah panas atau dingin yang aku rasa yang pasti aku ingin terus diselimuti.
Turbo, si kaktus kribo, di sampingku mungkin juga heran, melihatku berguling-guling tidak karuan. Sedari pagi aku hanya tidur-bangun-tidur-bangun terus-terusan. Playlist Omar Hisham juga sudah terputar berulang-ulang. Pesan WhatsApp dari mama juga sudah kuanggurkan berjam-jam. Sulit sekali rasanya menuruti keinginan benak untuk beranjak.
Laptop abu-abu itu terus kubiarkan terbuka di atas meja. Niatnya ingin menuntaskan beberapa penugasan. Ternyata hanya sampai menjadi niat dan tidak aku laksanakan. Akhirnya aku kembali masuk pada alam bawah sadar. Sial, tugas yang belum kukerjakan malah ikut masuk berbarengan dengan terlelapnya kedua mata. Segeralah aku duduk mengerjakan setengahnya. Meskipun ini pada dasarnya sekadar menghilangkan perasaan bersalah.
Lalu aku menengok kembali pesan yang sebelumnya terabaikan. Membalas semua pesan yang masuk dan memutuskan untuk minta bantuan. Pikirku kalau ini terus kubiarkan, akan butuh waktu lama untuk aku bisa kembali seperti semula. Akhirnya, kuhubungi Zahra Hasna Aulia untuk dimintai tolong membelikan barang yang aku perlukan. Terima kasih ya sudah mau kurepotkan!
Katanya, ini bentuk kafarat dari tuhan. Kalau iya, berharap sekali terampuni semua buih-buih dosa yang memenuhi lautan. Barang kali kemarin, aku menghardik dan mencaci maki keadaan. Barang kali kemarin, aku tidak sengaja meninggalkan kewajiban. Barang kali kemarin, aku lupa bersyukur atas segala kenikmatan. Barang kali kemarin, aku lupa bermesraan dengan tuhan.