Kabar Pelupuk di Perantauan
Hingar bingar gelora puan, sunyi senyap di kediaman. Aduh Gusti Sang Hyang Widi, tangtayungan abdi.
Pergi jauh, aku dari kediaman.
Pergi jauh, aku si perantau.
Bapak datang menitip pesan, tolong tetap ingat tuhan. Ibu datang membawa bekal, tolong tetap jaga makan. Tidak ada paksaan untuk belajar, sebatas iman dan kesehatan.
Pergi jauh, aku dari kediaman.
Pergi jauh, aku si perantau.
Sudah seperti bendungan yang tak tertahan, air menjadi liar tak beraturan. Sudah seperti apel di bulan januari, merah yang tak bisa aku hindari. Fasad dari wajah ini, sudah tak bisa aku kenali. Ringkih dari pundak ini, sudah tak sanggup aku berdiri. Porak porandalah jiwa ini.
Pergi jauh, aku dari kediaman.
Pergi jauh, aku si perantau.
Tak sengaja aku melihat laman. Mahambeg Mring Warih diceritakannya. Tak paham betul sejujurnya. Hanya saja, tirulah air nasihatnya. Lalu aku bertanya, air macam apa yang dimaksudkan? Air dalam wadah semalaman? Air tadah hujan di kubangan? Air sungai indah di pedesaan? Air mata hamba di pelupuk kanan? Tahi kucing segala jenis air, menjadi ruailah dalam pendewasaan.
Pergi jauh, aku dari kediaman.
Pergi jauh, aku si perantau.
Hey, ini apa artinya? Hey, siapa dia disebutnya? Hey, kapan aku bisa mengatakannya? Hey, mengapa susah aku mengikutinya? Hey, di mana bisa mendapatkannya? Hey, bagaimana caranya? Hey, hey, hey. Maka terus aku bertanya, meniru air sesuai arahannya. Basis-basis masih diusahakan, tetapi umpatan tak tertahankan. Lelucon gila di Sleman.
Pergi jauh, aku dari kediaman.
Pergi jauh, aku si perantau.
Mugia gusti maparinan kabarokahan.
Mugia gusti maparinan kajembaran.
Mugia gusti maparinan kabagjaan.