Aku dan Tetap Aku
Tabik,
Dalam tulisan pertama ini, akan aku perkenalkan (sedikitnya) siapa aku.
Tidak akan aku mulai dengan menyebut siapa namaku, tetapi akan aku narasikan sedikit bagaimana kondisiku saat menulis ini. Aku duduk di kursi yang biasa Bapak pakai di rumah. Warna merah yang selalu kuingat saat ia membaca kitab-kitab, sekarang berpindah menjadi singgasanaku di kos. Dengan laptop dihadapan, tiada pemandangan di luar jendela yang telihat, pun karena tirainya sudah aku turunkan. Satu-satunya penyegar mata adalah Turbo, kaktus kribo yang menjadi teman baru sejak bulan februari kemarin. Ada juga bingkai foto pemberian Kak Rafa dan Kak Emma yang dulu menyertaiku saat ospek jurusan. Tak akan aku lupakan Langgam Suminem karya musisi Mr. Sonjaya yang menjadi pengiringku malam ini. Mataku terus berkedip dengan perlahan. Ini isyarat bahwa waktu sedang memburuku. Sudah pukul 21:51. Lekas ku tulis semua yang ada dalam benak, “Ini bukan essay, ayo cepat selesai”. Duh, belakangan ini memang kacau. Selimut krem yang biasa dipakai bahkan lupa untuk dibereskan.
Aku Selma.
Selma R. Azizah
Selma Rahmatul Azizah
Kata Bapak, Selma itu sama artinya dengan Salma, selamat. Beliau merujuk pada kaidah Bahasa Arab yang aku tidak tahu apa pastinya. Ya sudahlah, nanti kalau ada keharusan atau aku tiba-tiba ingin tahu akan aku tanyakan lagi. Kemudian, nama tengah yang sering aku pangkas menjadi satu huruf singkat itu adalah Rahmatul. Sebenarnya aku merasa sedikit bersalah. Mencari alasan sebagai bentuk pembelaan pun tidak berhasil aku lakukan. Memang sebatas ingin saja, biar tidak kepanjangan. Padahal artinya mengagumkan, rahmat atau kasih sayang tuhan. Berakhir dengan nama Azizah Sang Perkasa. Itu nama dari leluhurku. Selain sebagai doa, Azizah menjadi identitas keluarga. Aku diharapkan akan tumbuh sebagai seseorang yang senantiasa hidup dalam keselamatan dengan iringan kasih sayang Tuhan Yang Maha Perkasa.
Lalu, siapa Cem?
Dia adalah aku.
Dia tetap aku.
Dulu, dia sebatas panggilan orang tua kepada anak dan kakak kepada adik. Sekarang, dia malah semakin melekat dan menjelma aku yang benar-benar aku. Bukan, bukan berarti aku tidak senang dengan Selma, hanya saja sekarang nama itu semakin terkesan asing. Bahkan, kemarin aku sempat muak dengan Cem karena aku rindu dengan Selma. Sama saja ternyata, Selma tetap terasa sangat kasar dan tidak akrab.
Tidak.
Cem adalah Selma.
Cem tetap Selma.
Terlepas dari keduanya, aku sangat senang dengan panggilan ‘Neng’. Panggilan yang manis. Biasanya Mama yang memanggilku begitu. Makanya setiap pesan WhatsApp atau telepon darinya selalu aku tunggu. Imaji romansaku ingin pasanganku kelak memanggilku demikian. Duh, membayangkannya saja sudah membuat pipi ini merona. Indah.